Selasa, 27 Januari 2009

Mahasiswa dan Nasionalisme

Oleh : WILSON M. A. THERIK

Makna dan Sejarah Nasionalisme Indonesia
Ketika berbicara mengenai nasionalisme dalam konteks Indonesia pada saat ini, tentunya tidak terlepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perkembangan kontemporer kita saat ini. Kedua hal ini masih terus mempengaruhi nasionalisme, baik itu dari aspek definisi atau aspek praktikal, dan tidak hanya saling mempengaruhi, namun juga akan memunculkan silang pendapat antara golongan yang berusaha menghidupkan kembali romantisme masa lalu dan golongan yang berusaha memahami realitas pada saat ini.

Perdebatan antara sejarah dan perkembangan saat ini dan kemudian muncul pro-kontra antara golongan yang satu dengan yang lain akan selalu memunculkan sebuah pertanyaan besar, yaitu: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia? Pertanyaan yang sebenarnya hanya membutuhkan kalimat selanjutnya yang cukup panjang ini, seakan tidak pernah tenggelam di antara isu-isu lain yang berkembang, karena pada akhirnya isu-isu tersebut bisa dikaitkan dengan nasionalisme.

Nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (nation) dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (Wikipedia, 2006). Dalam konteks Indonesia, pengertian ini dapat kita cocokkan dengan sejarah Indonesia ketika tahun 1945, yang pada saat itu para pendiri bangsa berusaha membuat sebuah nasionalisme yang dapat mempersatukan seluruh masyarakat yang berada dalam wilayah jajahan Belanda. Nasionalisme yang kemudian dihasilkan adalah sebuah nasionalisme yang berdasarkan kepada kesamaan nasib. Konsep yang dihasilkan para pendiri bangsa tersebut, berhasil untuk mempersatukan wilayah yang kita kenal sebagai Indonesia pada saat ini.

Nasionalisme akan mudah untuk dimengerti dan diimplementasikan jika ada musuh bersama. Jika musuh ini hilang, maka ikatan nasionalisme akan mengendur dengan sendirinya. Preseden yang muncul di Indonesia mempertegas pendapat ini. Jika kita melihat ke tahun 1940-an, ketika Belanda masih berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I dan II, nasionalisme di kalangan masyarakat masih kuat, sehingga perjuangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar 1949 membuahkan hasil diakuinya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun pasca-KMB 1949, Indonesia kehilangan musuh bersama dan golongan-golongan dalam masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama masa tersebut. Nasionalisme sempat muncul meski sebentar, ketika Indonesia mengeluarkan sikap politik luar negeri terhadap Malaysia dengan Dwikora. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena kondisi internal dalam Indonesia memang sedang rapuh. Setelah itu, nasionalisme dapat dimunculkan kembali ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan sebagai musuh bersama karena dianggap sebagai biang keladi Gerakan 30 September. Lebih dari 30 tahun kemudian, Indonesia memperoleh kembali sebuah musuh bersama, yaitu Orde Baru, sehingga gerakan nasionalisme dapat menghasilkan reformasi dan demokrasi yang selama 30 tahun dikebiri. Namun ketika musuh bersama tersebut telah berhasil dilumpuhkan, kepentingan kelompok kembali muncul mengesampingkan nasionalsime itu sendiri.

Kejadian-kejadian historis di Indonesia tersebut mempertegas bahwa nasionalisme dapat secara efektif diimplementasikan apabila masyarakat dalam sebuah negara memiliki musuh bersama.

Nasionalisme Kini dan Gerakan Mahasiswa
Dari preseden yang ada mengenai nasionalisme, musuh bersama menjadi sebuah kebutuhan jika nasionalsime ingin mempunyai tempat dalam kehidupan Indonesia. Namun pencarian terhadap musuh bersama ini tidaklah sekadar mencari subyek ataupun obyek yang sekadar dijadikan tumbal caci maki oleh civil society (yang di dalamnya terdapat juga gerakan mahasiswa), melainkan juga harus mencari subyek atau obyek yang memang harus dijadikan musuh bersama karena pengaruhnya yang buruk bagi masyarakat. Nasionalisme akan selalu berkaitan erat dengan masalah kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan adalah sebuah hal yang mutlak dimiliki oleh sebuah negara dan tidak bisa diganggu gugat oleh negara atau pihak manapun. Pada perkembangan saat ini, kedaulatan negara tidaklah lagi menjadi hal yang mutlak untuk dipraktekkan. Karena dengan munculnya berbagai macam organisasi internasional (OI) dan semakin kuatnya posisi tawar negara-negara maju di dalam OI tersebut, kedaulatan negara menjadi semakin kabur. Prinsip koordinatif yang dikembangkan ketika awal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) muncul menggantikan Liga Bangsa-bangsa (LBB) tidak lagi tegas jika sudah berhadapan dengan kepentingan negara-negara besar. Nasionalisme telah digantikan oleh globalisasi sedikit demi sedikit. Globalisasi yang lahir dari budaya sebuah bangsa, dan dijadikan budaya tunggal dunia. Indonesia terkena dampak dari globalisasi ini. Hukum positif Indonesia tidak lagi menjadi kewenangan legislatif, melainkan harus mematuhi regulasi internasional yang dihasilkan oleh OI yang dikontrol oleh negara-negara maju.

Nasionalisme sebuah bangsa menentukan arah pergerakan bangsa tersebut kepada pilihan yang lebih buruk atau baik. Negara-negara maju pada saat ini menekankan pentingnya nasionalisme ketika mereka sedang berada dalam posisi sebagai negara sedang berkembang. Ketika posisi mereka berubah, nasionalisme mereka tidak ikut berubah dan justru berusaha menyebarkan nasionalisme mereka ke negara lain. Jadi, ketika muncul pertanyaan: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia, hal ini harus dijawab dengan mudah jika melihat preseden dan memiliki visi yang tegas mengenai bangsa ini. Bangsa yang tidak memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya, akan selalu menjadi bangsa kelas dua di lingkungan internasional, akan selalu menjadi bangsa konsumtif yang dependen terhadap negara lain. Kedaulatan penuh dapat diwujudkan jika masyarakat dalam suatu bangsa memiliki visi yang kuat untuk mengarahkan bangsanya menjadi lebih baik. Sebuah visi yang kuat dapat lahir jika dilandaskan dengan nasionalisme. Tanpa adanya nasionalisme, tidak akan ada visi, tidak akan ada kedaulatan, dan tidak akan ada perubahan bagi bangsa ini.

Lalu bagaimana mahasiswa Indonesia (baca: mahasiswa UKSW) mewujudkan nasionalisme yang erat kaitannya dengan musuh bersama? Tindakan apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa Indonesia? Berbagai cara diwujudkan oleh civil society dalam mencari musuh pada saat ini untuk menunjukkan nasionalisme mereka, terlepas dari kepentingan yang mereka usung. Ada yang melalui tindakan elitis, persuasif, underground, sampai pada taraf anarkis. Isu yang muncul pun semakin beragam seperti program peningkatan kualitas pendidikan, penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan multinasional, anti OI, dan lainnya. Tindakan mewujudkan nasionalisme melalui metode-metode dan isu-isu tersebut terjadi dengan mendasar pada kondisi yang berkembang pada saat ini. Mahasiswa Indonesia tidak harus terikat dengan metode-metode dan isu-isu yang ada. Kajian ilmiah menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa Indonesia yang merupakan civil society berbasis kaum intelektual untuk dapat mengidentifikasi musuh bersama yang ingin dikedepankan. Tanpa adanya kajian ilmiah yang mendalam, aksi dalam mengedepankan musuh bersama untuk membangkitkan kembali nasionalisme hanya akan menjadi aksi taktis yang tak ada kontinuitasnya. Kajian ini juga tidak hanya sekadar bergerak dalam isu-isu terkini saja, namun juga harus mampu mengantisipasi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang, sehingga mahasiswa Indonesia tidak tergagap-gagap untuk menghadapi perubahan masyarakat yang drastis.

Mahasiswa dan Nasionalisme
Kajian ilmiah yang menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa Indonesia dalam membangkitkan kembali nasionalisme, harus mampu diwujudkan jika mahasiswa Indonesia tidak ingin terjebak dalam romantisme masa lalu. Mahasiswa Indonesia harus sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas dirinya agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia. Ketika kualitas diri mahasiswa Indonesia meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat, mahasiswa Indonesia (termasuk mahasiswa UKSW) akan mampu menjadi think tank bagi pergerakan nasionalisme di Indonesia. Semoga.

WILSON M. A. THERIK
Mahasiswa Doktoral Studi Pembangunan Program Pascasarjana UKSW

Formalin dalam Nasionalisme Indonesia

Di bulan agustus ini bersamaan dengan momentum peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-62, ada banyak (berita) kejutan bagi masyarakat Indonesia. Selain persoalan kekeringan yang rutin melanda setiap tahunnya dipertengahan tahun, adalah persoalan embargo Cina terhadap ekspor ikan dari Indonesia. Pemberitaan yang ugal-ugalan mengenai embargo Cina pada ikan asal Indonesia diawali dengan hiruk-pikuknya pemberitaan produk kosmetik dan makanan dari Cina di Indonesia yang diindikasikan mengandung formalin.
Formalin di negara Uni Eropa dilarang segala jenis penggunaannya termasuk dalam pengawetan mayat sekalipun. Hal tersebut dikarenakan Formaldehid digolongkan sebagai bahan berbahaya kerena bersifat toksik (beracun) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah Indonesia melarang produk-produk dari Cina yang diidentifikasi mengandung zat berbahaya tersebut. Entah bagaimana prosedur pencegahan masuk dan dan dipasarkannya produk berbahaya di Indonesia. Ada hal aneh dalam penanggulangan persoalan produk berformalin asal Cina. Pasalnya, kosmetik dan gula-gula asal Cina tersebut dirazia secara langsung di pasar-pasar tradisional oleh dinas kesehatan setempat diikuti oleh pemberitaan langsung mengenai proses razia tersebut di berbagai media elektronik maupun media cetak di tanah air.
Pemberitaan besar-besaran mengenai berbahayanya produk Cina yang terkontaminasi bahan berbahaya kian gencar di bulan kemerdekaan ini, padahal produk tersebut sudah ada dipasaran jauh-jauh waktu sebelumnya. Selain itu, bukankah produk tersebut sudah berhasil lolos hingga masuk pasaran, yang seharusnya menandakan kualitas produk karena terlebih dahulu telah diuji kelayakan untuk dikonsumsi.
Hal mengejutkan yang didapatkan dari berita akhir-akhir ini adalah larangan impor ikan asal Indonesia disinyalir sebagai suatu pembalasan Cina atas pemboikotan produk Cina di pasar Indonesia. Ikan asal Indonesia yang selama ini diandalkan dan diakui keamanannya oleh masyarakat dunia, oleh Cina diidentifikasi mengandung zat berbahaya seperti, toksin, pathogen dan bahan kimia lainnya.
Yang membuat sia-sia secara substansial, pemberitaan tersebut cenderung digiring pada sudut perseteruan antara Indonesia-Cina, bukan pada substasi perlindungan hak asasi konsumen yang terabaikan. Secara politis perseteruan yang diciptakan oleh hiruk-pikuknya pemberitaan memiliki kepentingan politis yang patut dicurigai. Selain persoalan tersebut sudah basi, pengangkatan pemberitaan yang berlebihan mengapa bebarengan dengan momentum hari kemerdekaan RI.
Nasionalisme yang Tercabik
Selain Formalin, bumbu nasionalisme yang ditampilkan dalam rangka menyedapkan ritual tujuhbelas-an adalah pemberitaan penemuan (padahal bukan hal baru) lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Roy Suryo dari museum di Belanda dalam versi tiga stanza. Di mana menjadi alasan lagu ‘temuan’ tersebut terus menerus dilantunkan dan ditampilkan teksnya pada setiap ulasan yang terus menerus menjadi item berita di tanah air akhir-akhir ini. Nasionalisme adalah ideologi yang seringkali dimanfaatkan oleh elite penguasa untuk mempertahan kekuasan dan sistem pemerintahan bopengnya yang bertopeng atas nama kepentingan rakyat dan berlindung di balik tameng barisan rakyat cinta tanah air.
“Ganyang Malaysia” adalah politik slogan Soekarno untuk mengalihkan perhatian rakyat supaya berkonsentrasi pada semangat nasionalisme. Selanjutnya, selama 32 tahun Soeharto memerintah Indonesia dengan menggunakan strategi pasar untuk menaikkan pendapatan penduduk sehingga pertumbuhan ekonomi naik drastis disertai pemberitaan luar biasa mengenai kemajuan pembagunan Indonesia. Namun, pada kenyataanya hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sebagian besar masyarakat digencet kemandirian ekonominya dan dikebiri kemerdekaan berpendapatnya. Maka untuk mengatasi gejolak rakyat dalam tataran psikologi massa disebarluaskanlah imaji bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya luhur yang tak boleh dinodai budaya asing. Anehnya, budaya asing dibayangkan sebagai sikap, nilai, serta pandangan hidup yang tidak pantas, akan tetapi di sana tidak termasuk modal asing untuk dihindari.
Selama ini nasionalisme yang digunakan oleh penguasa adalah jenis nasionalisme artikuaris, yaitu, nasionalisme yang selalu mengkaitkan dengan sejarah kejayaan masa lalu tanpa melihat keterkaitan dengan masa sekarang terlebih masa depan. Nasionalisme yang selalu mengangung-agungkan sejarah dan kebudayaan bangsa, namun pelaksanaanya pada keadaan aktual justru nol atau sebaliknya, menginjak-injak budaya dan sejarah bangsa serta memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan. Maka, jual beli ideologi dan penghianatan atas kepercayaan rakyat tidak terhindarkan. Hubungan antara nilai-nilai antik yang dimuliakan itu dan tingkah laku sosial-politik kian serba tidak jelas, seringkali sambil membanggakan kebudayaan bangsa, dengan mudahnya mencabut nyawa orang. Atau sambil menyerukan toleransi, tanpa malu-malu menculik orang-orang yang berbeda pendapat. Dan sambil berkotbah mengenai tepo sliro, tapi mencuri uang milik rakyat, merampas tanah penduduk.
Konflik Tidak Pernah Menguntungkan
Konflik dalam sistem produksi dan reproduksi dengan sistem pasar bebas adalah “Suffient” dan implikasi praktisnya konflik diatasi secara divisional bukan perombakan sistem sosio-ekonomi secara mendasar. Konflik dipahami secara Parsonian yaitu, seharusnya diperlakukan sebagai hal yang fungsional sebagai penguatan struktur. Padahal berdasarkan keadaan obyektif, basis material masyarakat dengan cara produksi yang serba mengagungkan kekuatan pasar, sangat rentan terjadinya konflik yang sifatnya sistemik.
Menurut Lewis Coser, dalam konteks ini pertama, konflik dipahami sebagai refleksi kondisi struktur sosial atau akibat instrumental dari ketidak cocokan isi struktur. Kedua, kekeliruan penginterpretasian atas konflik tersebut merupakan refleksi dan evaluasi mengenai begitu merasuknya sebuah model memaknaan realitas sampai-sampai kekeliruan bersifat total. Ketiga, rasionalitas bertujuan praktis menunjukkan di mana arah sosial-keabsahan generalisasi konflik kultural dan bersamaan dengan itu dialogisme, demokrasi, dan kerendahan hati para elite dianggap sebagai solusi pragmatis.
Persoalan yang dialami Indonesia tidak akan mereda dan tuntas dengan menelan mentah pil nasionalisme atas dasar resep salah pemerintah seperti selama ini. Hal tersebut dikarenakan konflik yang menimpa masyarakat Indonesia sifatnya sangat sistemik dan merupakan imbas dari sistem konflik masyarakat kapitalis. Yaitu konflik yang berasal dari pelanggaran-pelanggaran kriteria-kriteria primer keamanan eksistensial, sebab proses-proses ke arah konflik mengikuti arah totalisasi, globalisasi, kesamaan operasi sistem.
Dimuat 14 Agustus 2007 di www.parasindonesia.com

Cinta Negara Apakah sejalan dengan Cinta Tanah Air?

INDONESIA 62 Tahun

images-garuda.jpgimagesoma.jpgtopeng.jpgondel.jpgberas.jpgjktnite.jpgjuragan-utang.jpgwayang.jpgcak-nun.jpg180px-liberiawomen1910.jpg

smanda.jpg

bendera.jpg

Salam hormat,
Semoga hidup ini selalu diwarnai kebahagiaan…

“Untuk menggambarkan Nasionalisme= Cinta Negara” dan “Patriotisme=Cinta tanah air”

Dalam sebuah wawancara dengan harian Nasional Swedia di Stockholm yang disadur oleh TEMPO beberapa tahun yang lampau, Hasan Tiro berujar:

“Jangan tanyakan rakyat Aceh mengenai Nasionalisme, tapi kami akan berteriak lantang akan rasa Patriotisme kami!”

Begitulah jalan pikiran Hasan Tiro, yang menasbihkan dirinya mewakili suara keseluruhan rakyat Aceh.

Lalu masih ingatkah ketika Mel Gibson bermain habis-habisan dalam film The Patriot. Bagaimana seorang Peranakan Skotlandia yang telah menjadi anak Amerika berjuang habis-habisan untuk Amerikanya, walaupun pasukan Bung Mel terdiri dari Imigran, peranakan berbagai bangsa…
Patut ditanyakan apakah Mel Gibson memiliki Rasa Nasionalisme? Nasionalisme manakah, Skotlandia atau Amerika? Namun yang pasti mereka adalah para patriot (versi Amerika)…

Begitu pula- lah sejarah yang mengalir di bumi nusantara ini…

Untuk siapakah Diponegoro Berperang melawan Belanda? untuk sebuah nama Indonesia? ataukah Untuk tanah leluhur keluarganya…

Kenapa Rasa Nasionalisme Terasa Semakin Hilang?

Karena rakyat Indonesia /penduduk Indonesia,merasakan tidak mendapat perlindungan dari negara. Sering kali merasa seperti tidak mendapat perlindungan Hukum tapi cenderung mendapat hukuman yang setiap saat mengintai.
Contoh:Lapindo Brantas tidak ada penyelesaian yang Tuntas,banyak yang bermain sehingga yang betul-betul kena musibah terabaikan, bahasa jawa nya "ngenes". Punya Rumah,tanah dibeli dengan susah payah hilang begitu saja, nurani negara di mana? Di mana negara cinta Rakyatnya? Seharusnya direlokalisasi atau diganti dipindahkan dibuatkan desa baru buatkan rumah yang layak seperti sedia kala, tanah hilang ganti tanah, perusahaan LAPINDO BRANTAS kan sangat besar nego jalan terbaik jgn merugikan orang lain.

Rakyat rasanya hanya diwajibkan tetapi hak tidak punya. Sering kali dipermainkan aparat dengan Pasal sampah. Mau bicara apa lagi agar rakyat timbul rasa cinta tanah air yang dari lubuk hati karena keadaan demikian.Cinta itu tumbuh dengan sendirinya tidak harus diwajibkan dengan Wamil dan lainnya.

-Punya tanah warisan, PBB mahal dihibahkan kena pajak mahal pula akhirnya tersingkirkan karena hrs dijual tdk kuat bayar hibah,kasihan deh

-Punya POM bensin di Purwokerto tahun 1980 harus keluar dari tengah kota, pindah ke pinggir kota, bangkrut karena sepi pembeli. Tahun 2007 dibangun POM bensin di tengah KOTA padat penduduk izin keluar. Membuat sakit HATI yg bangkrut. Kenapa bisa begitu? Kabar-kabar tanahnya pun rampasan dari yayasan cina indonesia. Mengapa yang mengeluarkan serfitikat tidak kena tindakan hukum.

Biiiingung aku harus baaagaimana agar cinta ku bisa tumbuh?

M. Sutanto
Kauman
DIY

Sabtu, 17 Januari 2009

Written by Eyang Putri
Wednesday, 06 June 2007
“Bendera merah putih, bendera tanah airku, gagah dan jernih tampak warnamu, berkibaran dilangit yang biru, bendera merah putih. Bendera bangsaku"

Horeeee . . . nyaring suara kedua cucuku menyanyikan lagu "Bendera Merah Putih" setiap kali melihat bendera merah putih berkibaran di tepi jalan atau di kantor-kantor pemerintah. Ini bisa terjadi berulang kali di saat kami dalam sebuah perjalanan.

Senang melihat proses belajar dan homeschooling yang tak hanya dilakukan di rumah, tapi bisa dilakukan di mana saja, termasuk dalam perjalanan. Sambil ngobrol dan di perjalanan, aku bisa bercerita kepada Yudhis dan Tata mengenai tanah air mereka, negara mereka, Negara Indonesia.

Mampukah aku menimbulkan rasa cinta tanah air kepada kedua cucu-cucuku? Zaman orang tua kita dulu, rasa cinta pada tanah air terwujud dengan sendirinya karena ada rasa kebersamaan dalam membela tanah air dari cengkeraman penjajahan. Kalau masa kini, apa yang harus kita perbuat?
Mungkinkah sebuah lagu membuat mereka mengenal dan mencintai tanah airnya ?

“Padamu neg’ri, kami berjanji, padamu neg’ri kami berbakti, padamu neg’ri kami mengabdi, bagimu neg’ri jiwa raga ... kami. . . “

Yudhis dan Tata menyanyi lagi, mereka sudah hafal beberapa lagu perjuangan. Aku bersyukur Yudhis dan Tata senang menyanyi. Apalagi si kecil Tata, kalau nyanyi lagu ini dengan gayanya yang penuh perasaan dan matanya sampai merem-merem.

“Apa nama tanah air Yudhis?"
“Indonesia !!” jawab Yudhis.

“Apa warna bendera Indonesia?”
“Merah Putih”

"Ada berapa pulau besar di Indonesia ?
“ Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua . . “

Waah? Cukupkah pertanyaan itu? Aku pun menjelaskan kepada mereka bahwa di Indonesia ini terdiri dari bermacam-macam suku. Ada orang Jawa, Aceh, Padang, Sunda, Dayak, Madura, Ambon, Manado, Bali, Papua dan seterusnya.

“Aku orang apa Eyang Putri ??” tanya Yudhis,

“Karena eyang-eyangmu ada Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat jadi namanya suku jawa. Tapi kamu itu bangsa Indonesia”
“Jadi aku ini bangsa Jawa atau bangsa Indonesia?” Yudhis terus mengejar dengan pertanyaan.

Aku mulai memperjelas lagi “Kalau suku, kamu suku Jawa. Tapi kalau bangsa, kamu bangsa Indonesia.”

Di lain waktu, dengan peta aku bisa menunjukkan betapa luasnya Tanah air Indonesia kepada Yudhis dan Tata.

“Katakan Yudhis, 'Aku anak Indonesia!'” aku mengatakan kepadanya.

“Aku anak Indonesia!!” teriak Yudhis, “Aku anak Indonesia . .!!” Tata ikut-ikutan. he..he.. seru deh suasana jadinya dengan teriakan mereka.



Saat ini, aku merasa harus memperkenalkan Indonesia kepada cucu-cucuku seperti halnya dulu aku memperkenalkan kepada kedua anak-anakku Lala dan Andito.

Dulu, aku sering menerima anak-anak dari berbagai suku bermalam di rumahku. Biasanya mahasiswa yang kebetulan di masa libur tidak bisa pulang kampung. Mereka bisa dari suku Papua, Timor, Sulawesi sampai ke Padang dan Aceh. Proses itu berjalan dari tahun ke tahun dari anak-anak masih kecil sampai anak-anak menjadi dewasa. Mereka bergaul, ngobrol, belajar, bernyanyi bersama, makan bersama.

Dari proses ini, anak-anakku kuperkenalkan bahwa Indonesia isinya bukan hanya orang Jawa. Dengan peta, aku juga menunjukkan di mana kampung halaman mereka. Tidak itu saja, aku menata rumahku saat itu penuh dengan benda etnik-etnik dari berbagai suku. Jadi ibaratnya, saat mereka terbangun dari tidurnya, mereka sudah terbiasa dengan keragaman benda-benda tersebut. Mereka menjadi akrab dan mengetahui betapa luar biasa kekayaan aneka ragam hias dari suku-suku di Indonesia. Suku-suku itu mempunyai bahasa masing-masing, tapi disatukan dengan bahasa Indonesia. Suku-suku itu mempunyai adat istiadat dan agama masing-masing, tapi saling menghormati.

Untuk melengkapi ceritaku, aku dulu mengajak Lala dan Andito kecil mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di sana ada danau yang dibuat khusus, seolah-olah sebuah lautan luas dan tersebar pulau-pulau buatan berbentuk kepulauan Indonesia dalam ukuran kecil. Untuk memudahkan menikmatinya, mereka naik kereta kabel. Dari atas mereka melongok ke bawah dan berteriak menyebutkan nama-nama pulau yang sudah mereka ketahui, seperti sedang melihat peta Indonesia di rumah.

“Itu Sumatera . . itu Kalimantan . . Itu Sulawesi . . Itu Jawa . . waah pulau Balinya kecil amat . . “ begitulah mereka berceloteh tentang pulau-pulau yang mereka lihat sambil rekreasi.

Selanjutnya, mereka melihat anjungan yang mereka pilih. Mereka bisa melihat keragaman bentuk rumah-rumah adat. Mereka bangga jadi anak Indonesia.

Kini Lala dan Andito sudah berkeluarga. Aku mulai melihat rasa cinta mereka tersebut saat ini, salah satunya Lala dan suaminya Aar kini sedang serius menulis dan menangani Homeschooling. "Kalau kita ingin melihat negeri ini maju, kita harus berani merubah sistem pendidikannya,“ kata Aar. Proses sedang bergulir, semoga biar sedikit demi cintanya kepada tanah air mereka dapat melakukan sesuatu untuk negerinya.

Mengakhiri tulisanku, aku ingin menyatakan bahwa TMII adalah warisan luar biasa untuk anak bangsa negeri ini untuk mencintai tanah air. Bayangkan berapa besar biayanya kalau kita harus berkeliling Indonesia yang begini luas. Cukup datang ke TMII, kita akan melihat banyak tentang negeri ini.

“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia...,” kali ini aku sendiri yang menyanyi.